Wilujeng Sumping

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

Tifunk

Bovenk

Translator

Mengenal Ilmu Tauhid

Jumat, 28 Oktober 2011

Apakah ilmu tauhid itu? Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas pengokohan keyakinan-keyakinan agama Islam dengan dalil-dalil naqli maupun aqli yang pasti kebenarannya sehingga dapat menghilangkan semua keraguan, ilmu yang menyingkap kebatilan orang-orang kafir, kerancuan dan kedustaan mereka. Dengan ilmu tauhid ini, jiwa kita akan kokoh, dan hati pun akan tenang dengan iman. Dinamakan ilmu tauhid karena pembahasan terpenting di dalamnya adalah tentang tauhidullah (mengesakan Allah). Allah swt. berfirman:

أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d: 19)

Bidang Pembahasan Ilmu Tauhid

Apa saja yang dibahas? Ilmu tauhid membahas enam hal, yaitu:

1. Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya tanpa sekutu apapun bentuknya.

2. Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw.

3. Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang.

4. Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.

5. Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka).

6. Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini.

Allah swt berfirman:

“آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (Al-Baqarah: 285)

Rasulullah saw. ditanya tentang iman, beliau menjawab,

أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.

“Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim).

Kedudukan Ilmu Tauhid di Antara Semua Ilmu

Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemulian tema yang dibahasnya. Ilmu kedokteran lebih mulia dari teknik perkayuan karena teknik perkayuan membahas seluk beluk kayu sedangkan kedokteran membahas tubuh manusia. Begitu pula dengan ilmu tauhid, ini ilmu paling mulia karena objek pembahasannya adalah sesuatu yang paling mulia. Adakah yang lebih agung selain Pencipta alam semesta ini? Adakah manusia yang lebih suci daripada para rasul? Adakah yang lebih penting bagi manusia selain mengenal Rabb dan Penciptanya, mengenal tujuan keberadaannya di dunia, untuk apa ia diciptakan, dan bagaimana nasibnya setelah ia mati?

Apalagi ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama.

Karena itu, hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah sampai ia betul-betul memiliki keyakinan dan kepuasan hati serta akal bahwa ia berada di atas agama yang benar. Sedangkan mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu kifayah, artinya jika telah ada yang mengetahui, yang lain tidak berdosa. Allah swt. berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19)

Al-Quran adalah Kitab Tauhid Terbesar

Sesungguhnya pembahasan utama Al-Quran adalah tauhid. Kita tidak akan menemukan satu halaman pun yang tidak mengandung ajakan untuk beriman kepada Allah, rasul-Nya, atau hari akhir, malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, atau taqdir yang diberlakukan bagi alam semesta ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ayat Al-Quran yang diturunkan sebelum hijrah (ayat-ayat Makkiyyah) berisi tauhid dan yang terkait dengan tauhid.

Karena itu tak heran masalah tauhid menjadi perhatian kaum muslimin sejak dulu, sebagaimana masalah ini menjadi perhatian Al-Quran. Bahkan, tema tauhid adalah tema utama dakwah mereka. Umat Islam sejak dahulu berdakwah mengajak orang kepada agama Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Mereka mendakwahkan bukti-bukti kebenaran akidah Islam agar manusia mau beriman kepada akidah yang lurus ini.

Bagi seorang muslim, akidah adalah segala-galanya. Tatkala umat Islam mengabaikan akidah mereka yang benar -yang harus mereka pelajari melalui ilmu tauhid yang didasari oleh bukti-bukti dan dalil yang kuat– mulailah kelemahan masuk ke dalam keyakinan sebagian besar kaum muslimin. Kelemahan akidah akan berakibat pada amal dan produktivitas mereka. Dengan semakin luasnya kerusakan itu, maka orang-orang yang memusuhi Islam akan mudah mengalahkan mereka. Menjajah negeri mereka dan menghinakan mereka di negeri mereka sendiri.

Sejarah membuktikan bahwa umat Islam generasi awal sangat memperhatikan tauhid sehingga mereka mulia dan memimpin dunia. Sejarah juga mengajarkan kepada kita, ketika umat Islam mengabaikannnya akidah, mereka menjadi lemah. Kelemahan perilaku dan amal umat Islam telah memberi kesempatan orang-orang kafir untuk menjajah negeri dan tanah air umat Islam.

Keutamaan Ilmu Tauhid

Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada yang sesembahan -yang benar- selain Allah, niscaya masuk surga.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [2/64])

Hadits yang agung ini mengandung banyak pelajaran, di antaranya:

  1. Ilmu -mengetahui maksudnya- merupakan salah satu syarat la ilaha illallah (lihat at-Tanbihat al-Mukhtasharah, hal. 43). Maknanya, jika seseorang mengucapkan la ilaha illallah tanpa mengerti maknanya maka syahadatnya belum bisa diterima.
  2. Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu yang melahirkan amalan. Dia mengetahui bahwa sesembahan yang benar hanya Allah dan dia pun menyembah-Nya serta tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka dia akan masuk surga. Dan barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersektukan Allah dengan sesuatu apapun maka dia akan masuk neraka.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anuma, lihat Syarh Muslim [2/164-165])
  3. Hadits ini menunjukkan betapa tinggi keutamaan ilmu tauhid. Karena ilmu tentang tauhid inilah yang akan mengantarkan seorang hamba menuju surga-Nya. Dengan syarat orang tersebut harus mengamalkannya dan tidak melakukan pembatalnya. Orang yang tidak melakukan kesyirikan -dan dosa lain yang serupa- pasti masuk surga (lihat Syarh Muslim [2/168])
  4. Hadits ini menunjukkan bahwa orang musyrik di akherat kelak kekal di dalam neraka. Sama saja apakah dia itu berasal dari kalangan Ahli Kitab; Yahudi dan Nasrani, pemuja berhala ataupun segenap golongan orang kafir yang lainnya. Bahkan hukum ini -kekal di neraka- juga berlaku umum bagi mereka yang memeluk agama selain Islam ataupun mengaku Islam padahal telah dihukumi kekafiran akibat tindakan kemurtadan yang dilakukannya kemudian mati di atas keyakinannya tersebut (lihat Syarh Muslim [2/168])
  5. Hadits ini menunjukkan bahwa pahala bagi amalan manusia di akherat nanti ditentukan di saat akhir kehidupannya. Innamal a’malu bil khawatim.
  6. Hadits ini menunjukkan tidak mungkin bersatu antara Islam dan kekafiran. Maka bagaimanakah lagi orang yang mengatakan bahwa mereka menganut ajaran Islam Liberal?!
  7. Hadits ini menunjukkan betapa besar kebutuhan umat manusia kepada ilmu tauhid, sebab apabila mereka tidak memahaminya akan sangat besar kemungkinannya mereka melanggarnya -berbuat syirik- dalam keadaan tidak sadar kemudian meninggal di atasnya, wal ‘iyadzu billah!
  8. Wajib mengimani adanya surga dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya
  9. Surga hanya dimasuki oleh orang-orang yang bertauhid. Maka hadits ini menjadi bantahan yang sangat telak bagi kaum Liberal dan Pluralis yang menggembar-gemborkan paham Islam Liberal. Di antara contoh keyakinan mereka yang sangat menjijikkan adalah ucapan salah seorang tokoh mereka, “Kalau surga itu hanya dihuni oleh orang Islam saja, maka tentunya mereka akan kesepian.” Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan. Ada seorang teman yang menceritakan kepada kami sebuah kisah yang didengarnya dari salah seorang ustadz. Suatu ketika seseorang berkata kepada temannya sesama tukang becak, “Surga itu seperti alun-alun Kraton Yogyakarta. Dari mana saja orang datang dan melewati jalan manapun, tidak masalah. Yang penting akhirnya mereka juga sampai ke sana.” Maka temannya menjawab dengan lugas, “Itu ‘kan surganya Mbah -Moyang- mu!”
  10. Hadits ini mengandung dorongan untuk memahami dan mengamalkan tauhid dengan sebenar-benarnya serta dorongan untuk menjauhi segala macam bentuk kesyirikan

Tauhid Menurut Ahli Kalam

Sebagian orang mengatakan : tauhid hanya ada satu jenis saja, yaitu tauhid rububiyah. Yaitu pengenalan seorang hamba bahwasanya Allah-lah Sang Pencipta, Sang Pemberi Rizki, Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan, dan berbagai perbuatan dan sifat Allah Jalla wa ‘Alla lainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli kalam (filsafat) yang mendasarkan aqidah mereka pada ilmu kalam.

Keyakinan seperti ini memang ada. Apabila kita membaca kitab-kitab mereka tidak akan kita jumpai penetapan tauhid, kecuali rububiyah semata. Barangsiapa yang mengenal tauhid tersebut dialah seorang muwahid (dalam anggapan mereka). Tidak ada yang namanya tauhid uluhiyah dan tauhid asma’ wa shifat.

Oleh karena itu mereka tidak menentang ibadah kepada penghuni kubur, dan tidak menganggap berdo’a kepada orang mati adalah kesyirikan. Akan tetapi mereka hanya menganggapnya sebagai perbuatan menghadapkan ibadah kepada selain Allah, dan sekedar mengakui bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah kesalahan. Akan tetapi mereka tidak menetapkannya sebagai bentuk kesyirikan.

Sebagian mereka juga mengatakan : bahwasanya orang-orang yang beribadah kepada orang mati, istighotsah kepada penghuni kubur, bukanlah termasuk kesyirikan. Karena orang-orang yang beribadah kepada orang mati itu tidak meyakini bahwa sesembahan mereka, yaitu penghuni kubur dan orang mati, sebagai pencipta, pemberi rizki, dan pengatur urusan selain Allah. Maka selama orang-orang yang beribadah kepada orang mati meyakini hal semacam itu, mereka tidak termasuk dalam golongan musyrikin, dan amal mereka bukanlah bentuk kesyirikan. Melainkan mereka itu hanyalah mengambil sesuatu sebagai perantara (wasilah) antara mereka dan Allah dalam bentuk syafa’at.

Itulah perkataan mereka, persis dengan apa yang diucapkan orang-orang musyrik zaman dahulu, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” [Az Zumar : 3] Demikian pula firman-Nya, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”. [Yunus : 18]

Ahli kalam berkata : sesungguhnya ibadah kepada penghuni kubur dan bergantung kepada orang mati, istighotsah kepada mereka bukanlah bentuk kesyirikan, melainkan tawassul dan meminta syafa’at, dan mengambil perantara kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bukan termasuk kesyirikan kecuali jika diikuti keyakinan bahwa sesuatu tersebut bisa menciptakan, memberi rizki, dan mengatur urusan selain Allah ‘Azza wa Jalla.

Inilah yang diambil dari penjelasan mereka dan terdapat dalam kitab-kitab maupun perkataan mereka.

Apabila ada di antara mereka yang mengingkari perbuatan ibadah kepada orang mati tersebut, mereka akan mengatakan bahwa ibadah semacam itu salah. Perbuatan tersebut merupakan bentuk kebodohan tanpa ada unsur kesengajaan.

Akan tetapi mayoritas mereka tidak mengingkarinya, bahkan mengatakan : itu adalah perbuatan mengambil perantara dan syafa’at kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan bukanlah bentuk kesyirikan.

Pendapat ini tidaklah kami nukil dari perkataan satu kaum pun, melainkan terdapat dalam kitab-kitab yang mereka gunakan untuk membantah ahli tauhid, dan membela pelaku kesyirikan.

Adapun dalam masalah asma’ dan shifat, mereka berpendapat bahwa penetapan asma’ dan shifat termasuk tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluq -pent), sehingga mereka menafikan asma’ dan shifat dari Allah ‘Azza wa Jalla. Semisal kelompok Jahmiyyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, mereka menafikan tauhid asma’ wa shifat dengan tujuan mensucikan Allah (dalam anggapan mereka) dari keserupaan dengan makhluq. Praktis, tauhid bagi mereka hanyalah tauhid rububiyah saja, tidak ada bagi mereka tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wa shifat.

Mereka juga mengingkari pembagian tauhid menjadi tiga, sampai-sampai salah satu kitab mereka pada zaman ini menyebutkan, “Pembagian tauhid menjadi tiga sama saja dengan konsep Trinitas ! Pembagian semacam ini jelas telah terjatuh dalam cara beragamanya kaum Nashara”. Wal ‘iyadzubillah.

(terjemahan seadanya dari Durus Minal Qur’anil Karim, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hal. 14-16 cet. Darul ‘Ashimah. Sekaligus sebagai informasi bahwa kitab ini dikaji secara rutin insya Allah selama 20 hari di bulan Ramadhan 1431 H di Masjid Al Ashri Pogung Rejo Sleman Yogyakarta pukul 05.30-07.00 WIB, dengan pemateri Al Ustadz Aris Munandar, SS.)

Komentar yhougam : Bandingkan keyakinan ahli kalam di atas dengan fatwa yang sempat beredar ketika kasus batu ajaib Ponari. Tidak ada pengingkaran terhadap bentuk tawassul yang bathil, melainkan hanya seruan untuk menata niat. Nampak sama ?

Sufi Road : Tauhid Menurut Pandangan Para Ahli Hakikat

Berikut ini akan diuraikan beberapa pandangan ahli hakikat tentang tauhid yang
dikompilasi dari beberapa sumber sebagai suatu perbandingan.
Al-Junayd ditanya seputar tauhid, jawabnya,”Menunggalkan Yang ditunggalkan
melalui pembenaran sifat Kemanunggalan-Nya, dengan Keparipurnaan Tunggal-
Nya, bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, Yang tidak beranak dan tidak
diperanakkan, dengan menafikan segala hal yang kontra, mengandung keraguan
dan keserupaan; tanpa keserupaan, tanpa bagaimana, tanpa gambaran dan
tamsil. Tiada sesuatupun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. “

Al Junayd juga berkomentar, “Bila akal para pemikir sudah mencapai ujungnya
dalam Tauhid, akan berujung pada kebingungan.”
Saat ditanya kembali soal
tuhid, al-Junayd menjawab,”Suatu makna yang mengandung rumus-rumus, dan
didalamnya terkandung sejumlah ilmu. Sedangkan Allah sebagaimana Ada-Nya.”
Ketika ditanya mengenai tauhid kalangan khusus, al-Junayd berkata,”Hendaknya
hamba menengadahkan di sisi Allah SWT; dimana urusan-urusan Allah berlaku
disana dan lintasan hukum-hukum kekuasaan-Nya dalam arungan samudera
tauhid-Nya, melalui fana dari dirinya, fana dari ajakan makhluk dan menjawab
ajakannya, melalui hakikat Wujud-Nya, dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat
kedekatan pada-Nya, dengan cara menghilangkan rasa dengan geraknya karena
Tegaknya Allah SWT sebagaimana kehendak-Nya; yaitu sang hamba
dikembalikan pada awalnya. Sehingga ia sebagaimana adanya, sebelum dirinya
ada.”
Menurut al-Junayd kata-kata paling mulia dalam tauhid adalah yang diucapkan
Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., “Maha Suci Dzat Yang menjadikan jalan bagi
makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, kecuali dengan cara merasa tak berdaya
mengenal-Nya.” Menurut al-Junayd, yang dimaksud Abu Bakar adalah, “Allah
SWT tidak bisa dikenal. Sebab menurut ahli hakikat, yang dimaksud dengan tak
berdaya adalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalam arti tiada
sama sekali (ma’dun). Seperti tempat duduk, ia tak berdaya dari duduknya
seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk itu
sendiri maujud di dalamnya.
Begitu pula orang yang arif (mengenal Allah SWT)tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu maujud didalamnya,
karena sifatnya yang langsung. Menurut kalangan sufi, Ma’rifat kepada Allah
SWT pada ujung terakhirnya adalah bersifat langsung. Ma’rifat yang dilakukan
melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun ma’rifat itu mencapai
hakikat. Ash Shiddiq r.a. sedikitpun tidak memperhitungkan ma’rifat yang
disandarkan pada ma’rifat langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit dan
cahanya membias pada lampu itu.” Lebih jauh al-Junayd mengatakan, “Tauhid
yang dianut secara khusus oleh para sufi, adalah manunggalkan Yang Qadim
jauh dari yang hadits, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutus segala
tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun tidak diketahui, dan Allah
SWT berada dalam keseluruhan.” Al-Junayd juga berkata, “Ilmu tauhid memisah
dengan eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan eksistensinya.”
Tentang tauhid al-Junayd berkata,”Aku mendengar orang bersyair :

Betapa kaya hatiku
Menjadi kaya seperti Dia
Kami sebagaimana mereka ada
Dan mereka sebagaimana mereka ada.


Orang yang menunggalkan-Nya menurut al-Junayd, “meraih tauhid tertinggi dari
ucapan terendah dan teringan.” [10]

Al-Junayd pernah juga berkata tentang tauhid, “Tauhid adalah pemisahan yang
abadi dari apa yang memiliki waktu.” Riwayat lain menceritakan bahwa al-Junayd
berkata, “Tauhid adalah bahwa seseorang harus menjadi figur (Syeikh) di tangan
Allah; satu figur dimana ketetapan Allah diberikan kepadanya sesuai dengan
ketika Dia dalam kamahakuasaanya ditetapkan. Bahwa seseorang harus
tenggelam dalam lautan keesaan-Nya. Kefanaan diri dan kematian sama bagi
seruan kemanusiaan kepadanya dan jawabannya terhadap seruan tersebut. Ia
tengah asyik berenang dalam realitas keesaan Ilahi dalam kedekatan yang
hakiki, dan hilang dari pikiran dan perbuatan, karena Allah dalam dirinya
memenuhi apa yang telah Dia kehendaki untuknya. Maksudnya, keadaan
terakhirnya menjadi keadaan pertamanya, dan dia mesti seperti sebelum dia
ada.” [33]
Dalam kitab Thawasin [177], Thasin VIII “Kitab Tentang Tauhid”, al-Hallaj bersyair,
“Kebenaran (al-Haqq) adalah satu, unik, tunggal;
Kebenaran adalah Esa yang tidak dapat dibagi-bagi.
Keesaan-Nya, dan pengetahuan tentang keesaan itu
Adalah milik-Nya; berada dalam diri-Nya.
Tidak mungkin, tidak mungkin;
keesaan ini adalah jauh, asing, dan terpisah, dia dikenal hanyamelaluinya.
Pengetahuan mengenai Yang Esa adalah Abstrak; tunggal, tak terbagi.
Mengatakan Dia itu Esa, dan Dia Tunggal adalah untuk menyifatkan;
Tetapi Dia, Yang Esa, adalah diluar penyifatan.
Jika kau berkata, “Aku,”, Ia mengirim balik “Aku,” dalam menjawab“aku”-ku.
Jadi, “dia” ditujukan untuk Engkau dan tidak untukku.
Dan jika kau berkata Kesatuan adalah Keesaan bagi kesendirian-Nya,
untuk keberadaannya yang sendiri,
berarti aku menempatkan dia dalam ciptaan;
Di antara sarwa makhluk.
Dan jika aku berkata Yang Satu itu tunggal sebagai jumlah satu;
bagaimana ia dapat muncul dalam jumlah?
Dan jika aku berkata, Dia adalah Satu
Akibat dari keberadaan yang dianggap satu, yang memang terbukti satu,-
berarti aku memberi batasan pada dia; membatasi-Nya.

Dalam kitab “Kasyf al-Mahjub” [33], Hujwiri menafsirkan perkataan al-Hallaj
“Langkah pertama dalam tauhid adalah memfanakan pemisahan (tajrid)”, maka
dikatakannya bahwa pemisahan sebagai langkah pertama dalam tauhid adalah
pernyataan bahwa sesuatu terlepas dari ketidaksempurnaan, sementara
ketauhidan adalah deklarasi keesaan sesuatu; dengan demikian, dalam ruang
yang kedap (fardaniyah, ruang vakum) amat mungkin menegaskan pada selain
Allah (memunculkan makhluk), dan kualitas ini mungkin bisa diberikan kepada
yang lain selain Allah.

Tetapi dalam keesaan (wahdaniyah) tidaklah mungkin menegaskan selain Allah, dan keesaan tidak mungkin diberikan kepada apapun selain Allah. Oleh karena itu, langkah pertama dalam tauhid adalah menyangkal bahwa Allah memiliki sekutu (syark) dan membuang campuran (mizaj), karena campuran pada jalan menuju Allah seperti mencari jalan dengan pelita. Pernah ada seseorang bertanya kepada Abu Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syibli r.a.[9], “Wahai Abu Bakar, beritahukan kepada saya tentang Tauhid Murni, dengan suatu bahasa yang benar.”Asy-Syibli menjawab, “Celaka kau!!! Barangsiapa
menjawab tentang Tauhid, maka ia adalah orang yang ingkar (mulhid). Dan
barangsiapa memberi isyarat tentang Tauhid, maka ia adalah penyembah
berhala. Sementara orang yang diam tak berkomentar tetang Tauhid adalah
bodoh. Sedangkan orang yang mengira, bahwa ia telah sampai (“wushul”),
sebenarnya ia tidak mencapai apa-apa. Barangsiapa bercerita tentang Tauhid
maka ia adalah orang yang lalai, barangsiapa menyangka, bahwa ia dekat maka
sebenarnya ia adalah jauh. Sementara orang yang berpura-pura mampu
menghayati, maka sebenarnya ia adalah orang yang kehilangan. Sedangkan
segala apa yang Anda bedakan dengan daya imajinasi, dan Anda pahami
dengan akal sekalipun dalam makna yang sempurna menurut Anda, maka
sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang diatur dan berasal dari diri Anda, suatu
ciptaan yang baru dan makhluk yang sama dengan Anda.”

Uraian Asy-Syibli ini memang dapat membawa pada kebingungan. Apa yang
dimaksud Asy-Syibli sebenarnya serupa dengan sabda Nabi SAW bahwa
“jangan memikirkan Dzat Allah” identik dengan “Tidak ada yang serupa dengan-
Nya (Laisa kamitslihi syai-un)”, jadi setiap buah pikiran, atau hasil perbuatan
oleh makhluk baik lisan, tulisan, gambaran dan yang lainnya bukanlah apa yang
dimaksudkan sebagai Tauhid Murni. Menurut as-Sarraj, apa yang dimaksud
tentang Tauhid menurut Asy Syibli adalah menjadi Dzat Yang Maha Qadim
sebagai Dzat yang sama sekali berbeda dengan makhluk yang diciptakan
(muhdats). Sementara itu, tidak ada cara lain bagi makhluk kecuali hanya
menyebut-Nya, menerangkan-Nya dengan sifat yang memberi atribut untuk-Nya
sesuai dengan kadar yang bisa diterangkan kepada mereka. Artinya, selama ini
kita menyembah-Nya seperti itu hanya dengan menyebutkan nama-namanya.
Esensinya supaya kita menyembah Allah dengan tauhid yang hakiki, maka
semua Muslim harus melakukan perjalanan ruhani menyingkapkan jatidirinya
sehingga tercapai hakikat tauhid sebenarnya yang sering diungkapkan dengan
“Mengenal Allah dengan Allah” - inilah makna Ihsan yang sebenarnya. Maka
segera lakukanlah perjalananmu!

Daftar Pustaka

· http://www.dakwatuna.com/2008/mengenal-ilmu-tauhid/

· http://abumushlih.com/keutamaan-ilmu-tauhid.html/

· http://yhougam.wordpress.com/2010/08/14/tauhid-menurut-ahli-kalam/

· http://sufiroad.blogspot.com/2010/08/sufi-road-tauhid-menurut-pandangan-para.html

0 komentar:

Posting Komentar

 

Hari, Tanggal, Bulan dan Tahun