Wilujeng Sumping

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

Tifunk

Bovenk

Translator

Macam-macam Suku Bangsa di Pulau Jawa

Jumat, 28 Oktober 2011

SUKU SUNDA

SEJARAH
Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke- 8 sebagai lanjutan atau penerus kerajaan Tarumanegara. Pusat kerajaannya berada disekitar Bogor, sekarang. Sejarah Sunda mengalami babak baru karena arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan kompeni Belanda sejak (1610­) dan dari arah pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan Mataram (sejak 1625).
Menurut RW. Van Bemelan pada tahun 1949, Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Suku Sunda merupakan kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indeonesia. Yaitu berasal dan bertempat tinggal di Jawa Barat. Daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.

DESKRIPSI LOKASI

Secara cultural daerah Pasundan di daerah timur dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy, yang merupakan perbatassan bahasa. Wilayah ini sendiri memiliki luas 55.390 km² serta terdiri atas 20 kabupaten. Tanah Pasundan ini dikenal karena iklimnya yang sejuk dan keindahan panoramanya. Berada di daerah dataran tinggi dengan curah hujan tinggi sehingga kesuburan tanahnya tidak diragukan lagi. Pada tahu 1998, suku Sunda berjumlah kurang lebih 33 juta jiwa, kebanyakan dari mereka hidup di Jawa Barat. Nama mereka sering dianggap sebagai orang Sundan di Afrika dan salah dieja dalam ensiklopedia. Beberapa koreksi ejaan dalam komputer juga mengubahnya menjadi Sudanese.

UNSUR-UNSUR BUDAYA

1. BAHASA
Bahasa Sunda juga mengenal tingkatan dalam bahasa, yaitu unda-usuk bahasa untuk membedakan golongan usia dan status sosial antara lain yaitu

1. Bahasa Sunda lemes (halus) yaitu dipergunakan untuk berbicara dengan orang tua, orang yang dituakan atau disegani.

2. Bahasa Sunda sedang yaitu digunakan antara orang yang setaraf, baik usia maupun status sosialnya.

3. Bahasa Sunda kasar yaitu digunakan oleh atasan kepada bawahan, atau kepada orang yang status sosialnya lebih rendah. Namun demikian, di Serang, dan Cilegon, bahasa Banyumasan (bahasa Jawa tingkatan kasar) digunakan oleh etnik pendatang dari Jawa.

2. RELIGI
Sebagain besar masyarakat suku Sunda menganut agama Islam, namun ada pula yang beragama kristen, Hindu, Budha, dll. Mereka itu tergolong pemeluk agama yang taat, karena bagi mereka kewajiban beribadah adalah prioritas utama. Contohnya dalam menjalankan ibadah puasa, sholat lima waktu, serta berhaji bagi yang mampu. Mereka juga masih mempercayai adanya kekuatan gaib. Terdapat juga adanya upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup, mendirikan rumah, menanam padi, dan lain-lainnya.

3. TEKNOLOGI
Hasil-hasil teknologi terkini sangat mudah didapatkan seperti alat-alat yang digunakan untuk pertanian yang dasa jaman dulu masih menggunakan alat-alat tradisional, kini sekarang telah berubah menggunakan alat-alat modern, seperti traktor dan mesin penggiling padi. Disamping itu juga sudah terdapat alat-alat telekomunikasi dan barang elektronik modern.

4. MATA PENCAHARIAN

Mata pencaharian pokok masyarakat Sunda adalah

1. Bidang perkebunan, seperti tumbuhan teh, kelapa sawit, karet, dan kina.

2. Bidang pertanian, seperti padi, palawija, dan sayur-sayuran.

3. Bidang perikanan, seperti tambak udang, dan perikanan ikan payau.

Selain bertani, berkebun dan mengelola perikanan, ada juga yang bermata pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, dan peternak.

5. ORGANISASI SOSIAL

Sistem kekerabatan yang digunakan adalah sistem kekerabatan parental atau bilateral, yaitu mengikuti garis keturunan kedua belh phak orang tua. Pada saat menikah, orang Sunda tidak ada keharusan menikah dengan keturunan tertentu asal tidak melanggar ketentuan agama. Setelah menikah, pengantin baru bisa tinggal ditempat kediaman istri atau suami, tetapi pada umumnya mereka memilih tinggal ditempat baru atau neolokal. Dilihat dari sudut ego, orang Sunda mengenal istilh tujuh generasi keatas dan tujuh generasi ke bawah, antara lain yaitu :
Tujuh generasi keatas :

- Kolot

- Embah

- Buyut

- Bao

- Janggawareng

- Udeg-udeg

- Gantung siwur

Tujuh generasi kebawah :

- Anak

- Incu

- Buyut

- Bao

- Janggawareng

- Udeg-udeg

- Gantung siwur

6. SISTEM PENGETAHUAN

Fasilitas yang cukup memadai dalam bidang pengetahuan maupun informasi memudahkan masyarakat dalam memilih institusi pendidikan yang akan mereka masuki dalam berbagai jenjang. Seperti pada permulaan masa kemerdekaa di Jawa Barat terdapat 358.000 murid sekolah dasar, kemudian pada tahun 1965 bertambah menjadi 2.306.164 murid sekolah dasar. Jadi berarti mengalami kenaikan sebanyak 544%. Pada saat ini pada era ke- 20 disetiap ibukota kabupaten telah tersedia universitas-universitas, fakultas-fakultas, dan cabang-cabang universitas.

7. KESENIAN
Masyarakat Sunda begitu gemar akan kesenian, sehingga banyak terdapat berbagai jenis kesenian, diantaranya seperti :

a. Seni tari : tari topeng, tari merak, tari sisingaan dan tari jaipong

b. Seni suara dan musik :

- Degung (semacam orkestra) : menggunakan gendang, gong, saron, kecapi, dll.

- Salah satu lagu daerah Sunda antara lain yaitu Bubuy bulan, Es lilin, Manuk dadali, Tokecang dan Warung pojok.

c. Wayang golek

d. Senjata tradisional yaitu kujang

BUDAYA SUKU TENGGER

SEJARAH


Menurut mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama suku Tengger diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger. Legenda tentang Roro Anteng dan Joko Seger yang berjanji pada Dewa untuk menyerahkan putra bungsu mereka, Raden Kusuma merupakan awal mula terjadinya upacara Kasodo di Tengger. Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.

DESKRIPSI LOKASI

Suku bangsa Tengger berdiam disekitar kawasan di pedalaman gunung Bromo yang terletak di kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berdasarkan persebaran bahasa dan pola kehidupan sosial masyarakat, daerah persebaran suku Tengger adalah disekitar Probolinggo, Lumajang, (Ranupane kecamatan Senduro), Malang (desa Ngadas kecamatan Poncokusumo), dan Pasuruan. Sementara pusat kebudayaan aslinya adalah di sekitar pedalaman kaki gunung Bromo.

UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN

1. BAHASA
Bahasa yang berkembang di masyarakat suku Tengger adalah bahasa Jawa Tengger yaitu bahasa Jawi kuno yang diyakini sebagai dialek asli orang-orang Majapahit. Bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab mantra pun menggunakan tulisan Jawa Kawi. Suku Tengger merupakan salah satu sub kelompok orang Jawa yang mengembangkan variasai budaya yang khas. Kekhasan ini bisa dilihat dari bahasanya, dimana mereka menggunakan bahasa Jawa dialek tengger, tanpa tingkatan bahasa sebagaimana yang ada pada tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa pada umumnya.

2. PENGETAHUAN
Pendidikan pada masyarakat Tengger sudah mulai terlihat dan maju dengan dibangunnya sekolah-sekolah, baik tingkat dasar maupun menengah disekitar kawasan Tengger. Sumber pengetahuan lain adalah mengenai penggunaan mantra-mantra tertentu oleh masyarakat Tengger.

3. TEKNOLOGI
Dalam kehidupan suku Tengger, sudah mengalami teknologi komunikasi yang dibawa oleh wisatawan-wisatawan domestik maupun mancanegara sehingga cenderung menimbulkan perubahan kebudayaan. Suku Tengger tidak seperti suku-suku lain karena masyarakat Tengger tidak memiliki istana, pustaka, maupun kekayaan seni budaya tradisional. Tetapi suku Tengger sendiri juga memiliki beberapa obyek penting yaitu lonceng perungggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang telah menjadi puing.

4. RELIGI
Mayoritas masyarakat Tengger memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Selain agama Hindu, agama laiin yang dipeluk adalah agama Islam, Protestan, Kristen, dll. Berdasarkan ajaran agama Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasono. Selain Kasodo, upacara lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo, Kasanga. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.

5. ORGANISASI SOSIAL PERKAWINAN.

Sebelum ada Undang-Undang perkawinan banyak anak-anak suku Tengger yang kawin dalam usia belia, misalnya pada usia 10-14 tahun. Namun, pada masa sekarang hal tersebut sudah banyak berkurang dan pola perkawinannya endogami. Adat perkawinan yang diterapkan oleh siuku Tengger tidak berbeda jauh dengan adat perkawinan orang Jawa hanya saja yang bertindak sebagai penghulu dan wali keluarga adalah dukun Pandita. Adat menetap setelah menikah adalah neolokal, yaitu pasangan suami-istri bertempat tinggal di lingkungan yang baru. Untuk sementara pasangan pengantin berdiam terlebih dahulu dilingkungan kerabat istri.

6. SISTEM KEKERABATAN.

Seperti orang Jawa lainnya, orang Tengger menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral yaitu garis keturunan pihak ayah dan ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak

7. SISTEM KEMASYARAKATAN.

Masyarakat suku Tengger terdiri atas kelompok-kelompok desa yang masing-masing kelompok tersebut dipimpin oleh tetua. Dan seluruh perkampungan ini dipimpin oleh seorang kepala adat. Masyarakat suku Tengger amat percaya dan menghormati dukun di wilayah mereka dibandingkan pejabat administratif karena dukun sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger mengangkat masyarakat lain dari luar masyarakat Tengger sebagai warga kehormatan dan tidak semuanya bisa menjadi warga kehormatan di masyarakat Tengger. Masyarakat muslim Tengger biasanya tinggal di desa-desa yang agak bawah sedangkan Hindu Tengger tinggal didesa-desa yang ada di atasnya.

8. MATA PENCAHARIAN

Pada masa kini masyarakat Tengger umumnya hidup sebagai petani di ladang. Prinsip mereka adalah tidak mau menjual tanah (ladang) mereka pada orang lain. Macam hasil pertaniannya adalah kentang, kubis, wortel, tembakau, dan jagung. Jagung adalah makanan pokok suku Tengger. Selain bertani, ada sebagian masyarakat Tengger yang berprofesi menjadi pemandu wisatawan di Bromo. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menawarkan kuda yang mereka miliki untuk disewakan kepada wisatawan.

9. KESENIAN
Tarian khas suku Tengger adalah tari sodoran yang ditampilkan pada perayaan Karo dan Kasodo. Dari segi kebudayaan, masyarakat Tengger banyak terpengaruh dengan budaya pertanian dan pegunungan yang kental meskipun sebagian besar budaya mereka serupa dengan masyarakat Jawa umumnya, namun ada pantangan untuk memainkan wayang kulit.

10. NILAI-NILAI BUDAYA

Orang Tengger sangat dihormati oleh masyarakat Tengger karena mereka selalu hidup rukun, sederahana, dan jujur serta cinta damai. Orang Tenggr suka bekerja keras, ramah, dan takut berbuat jahat seperti mencuri karena mereka dibayangi adanya hukum karma apabila mencuri barang orang lain maka akan datang balasan yaitu hartanya akan hilang lebih banyak lagi. Orang Tengger dangat menghormati Dukun dan Tetua adat mereka.

11. ASPEK PEMBANGUNAN

Aspek pembangunan yang terlihat adalah pada sektor pariwisata misalnya dengan pembangunan-pembanguna akses-akses menuju gunung Bromo agar lebih mudah dijangkau oleh wisatawan. Desa Tosari merupakan salah satu pintu gerbang daerah Tengger, desa ini memanjang dari utara sampai selatan. Di tengah desa itu terdapat pasar dan tempat-tempat ibadah seperti masjid bagi umat Islam dan pura bagi umat Hindu. Selain itu terdapat pula kantor kelurahan, kantor kecamatan, dan koramil, kantor PKK, sekolah dasar, madrasah, taman-kanak-kanak, pos kesehatan, dan taman gizi serta puskesmas. Jadi desa-desa yang ada di wilayah Tengger sudah cukup maju.

SUKU OSING

A. LETAK GEOGRAFIS

Suku Using terletak di Jawa Timur dan kurang lebih menempati separuh dari wilayah Banyuwangi. Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur di Indonesia. Kabupaten ini terletak di wilayah ujung paling timur pulau Jawa. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Situbondo. Sebelah timur berbatasan dengan selat Bali. Sebelah selatan berbatasan dengan samudra Hindia. Dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Jember dan kabupaten Bondowoso. Pelabuhan Ketapang menghubungkan pulau Jawa dengan pelabuhan Gilimanuk di Bali. Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi yang masih memiliki budaya asli suku Using yakni Desa Kemiren, kecamatan Glagah, dan kabupaten Banyuwangi. Wilayah desa Kemiren termasuk dari daerah daratan yang banyak sumber-sumber air atau yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai belik

B. SEJARAH

Suku Osing adalah penduduk asli dari Banyuwangi yang telah menjadi penduduk mayoritas. Osing lahir akibat runtuhnya kerajaan Majapahit. Pada waktu itu orang-orang Majapahit mengungsi kebeberapa tempat, yaitu lereng gunung Bromo (suku Tengger), Blambangan (suku Osing) dan Bali, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1478 M. Kerajaan yang didirikan oleh masyarakat Osing adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha.

C. SISTEM RELIGI

Pada awal terbentuknya masyarakat Osing, kepercayaan pertama suku Osing adalah ajaran Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Seiring dengan berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan agama Islam menyebar dengan cepat dikalangan suku Osing, sehingga pada saat ini agama masyarakat Osing sebagian besar memeluk agama Islam. Selain agama Islam, masyarakat suku Osing juga masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma yaitu kepercayaan yang kiblat sembayangnya berada di timur seperti orang Cina, Pamu (Purwo Ayu Mandi Utomo) yaitu kepercayaan yang masih bernafaskan Islam. Sistem religi yang ada di masyarakat Osing ada yang mengandung unsur Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.

D. BAHASA

Bahasa asli suku Osing merupakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno, namun dialek bahasa Osing berbeda dengan bahasa Jawa. Bahasa Osing mengenal sisem ajaran yang khas yaitu kata-kata yang didahului dengan konsonan (B, D, G) serta di beri sisipan (Y), contohnya : abang menjadi abyang, abah menjadi abyah.

E. MATA PENCAHARIAN

Macam-macam mata pencaharian masyarakat suku Osing yaitu dengan keadaan topografi daerah Banyuwangi terutama desa Kemiren yang cukup tinggi maka macam-macam mata pencaharian di masyarakat Kemiren adalah Pegawai Negeri, ABRI, Guru, Swasta, Pedagang, Petani, Peternak, Pertukangan, Buruh Tani, Pensiunan, Nelayan, Pemulung, Buruh Biasa, dan Buruh Jasa. Macam-macam jenis hasil mata pencahariannya yaitu hasil pertanian yang terdiri dari atas padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kentang, tomat, bawang, kacang panjang, terong, timun, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat hasil perkebunan yang terdiri atas kelapa, kopi, cengkeh, randu, mangga, durian, pisang, rambutan, pepaya, apokat, jeruk, dan blimbing. Dan ada terdapat juga hasil perindustrian yang terdiri atas tenunan, atau plismet, ukir-ukiran, dan kerajinan barang lainnya. Dalam bermata pencaharian masyarakat suku Osing terdapat teknik-teknik dalam bermata pencaharian yaitu cara kerja yang dilakukan masyarakat suku Osing yaitu seperti dalam teknik pertanian yaitu membajak, dan pembasmian hama dan teknik dalam home industri yaitu menenun, dan mengukir.

F. ORGANISASI SOSIAL

Pola perkawinan. Masyarakat suku Osing di Banyuwangi mempunyai tradisi perkawinan yang terpengaruh gaya Jawa, Madura, Bali, bahkan pengaruh dari suku lain di luar Jawa dalam hal gaun pengantinnya. Di lingkungan masyarakat suku Osing Banyuwangi berlaku adat perkawinan dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut : (1) tahap perkenalan; (2) tahap meminang; (3) tahap peresmian perkawinan. Selain dari tahap-tahap tersebut, masyarakat suku Osing Banyuwangi juga mengenal adat perkawinan yang cukup menarik, yaitu Adu Tumper dan Perang Bangkat. Sistem organisassi sosial. Suku Osing berbeda dengan suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal kasta seperti halnya suku Bali. Pola kekerabatan di masyarakat suku Osing adalah bilateral yang lebih mengararah pada patrilineal. Sistem lembaga masyarakat suku Osing antara lain kepala desa, sekretaris desa, LMD, kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur pembangunan, dan kaur keuangan.

G. KESENIAN

Suku Osing banyak memiliki kesenian yang unik dan sarat akan magis. Kesenian suku Osing adalah kesenian yang memiliki keaneragaman corak budaya, sebab dalam keseniannya suku Osing banyak dipengaruhi oleh Bali, akan tetapi corak keseniannya juga dipengaruhi oleh Madura dan Eropa. Kesenian suku Osing diantaranya adalah :

1. Tarian yaitu tari gandrung door, tari jejer dawuh, tari jejer gandrung, tari sumber wangi, tari padang wulan, tari jaran goyang, tari kunthulan, tari barong, tari seblang, tari jengger, tari jaran kecak.

2. Lagu daerah yaitu padang wulan, jejer gandrung, jaran ucul.

3. Seni musik dan instrumen musik yaitu angklung caruk, angklung paglak, karawitan, selentem, peking, gong, ketuk, kluncing, biola, sason, saron, gamelan Osing.

H. SISTEM PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Pengetahuan tentang alam sekitar (dongeng, legenda mitos), pengetahuan tentang flora, makanan khas, obat-obatan. Perlengkapan :

1. Perlengkapan berlindung :

- Jenis rumah dan bentuk rumah : tikel balung, baresan, serocokan.

- Bagian dan fungsi ruangan rumah : amperan, bale,/jerungan, pawon.

2. Perlengkapan alat mata pencaharian : teter, singkal, patuk sangkan, boding, atau parang, kilung.

3. Alat perlengkapan rumah tangga.

4. Alat perlengkapan dalam ritual keagamaan.

5. Alat transportasi meliputi mobil pick up yang digunakan untuk mengangkut barang-barang dan juga orang.

6. Senjata : pedang, keris, cundrik, tolop, tolop sengkop.

I. ASPEK PEMBANGUNAN

Pemerintah Banyuwangi menyadari potensi dasar pada budaya suku Osing dengan menetapkan desa Kemiri di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus dilestarikan agar dapat memelihara nilai-nilai budaya suku Osing.

J. NILAI BUDAYA

Nilai budaya yang terdapat pada suku Osing adalah menjunjung tinggi kegotong royongan, kerja bakti, arisan, silaturrahmi atau saling berkunjung dan sumbang menyumbang.

SUKU JAWA

Suku Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia, baik dalam jumlah maupun luas penyebarannya. Mereka kerap menyebut dirinya sebagai Wong Jowo atau Tiang Jawi.

Orang Jawa telah menyebar hampir ke semua pulau besar di Indonesia sejak abad ke-18. Selain menyebar di wilayah nusantara, suku Jawa pada saat itu juga sudah dibawa ke Suriname (Amerika Selatan), ke Afrika Selatan, dan ke Haiti di Lautan Teduh (Pasifik) oleh Belanda.

Menurut populasi aslinya, suku Jawa menempati wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun di luar wilayah itu, sebagian provinsi Jawa Barat juga banyak suku Jawa, seperti Cirebon, Indramayu, Jakarta, dan Banten.

Di wilayah Sumatra, suku Jawa paling banyak adalah di wilayah Lampung. Sisanya menyebar ke seluruh pulau besar di Indonesia.

A. Pusat Konsentrasi Budaya Suku Jawa

Berdasarkan pengaruh budaya sosial masyarakatnya, daerah-daerah yang menjadi konsentrasi kebudayaan suku Jawa adalah daerah Banyumas, Kedu, Madiun, Malang, Kediri, Yogyakarta, dan Surakarta. Yogyakarta dan Surakarta dianggap sebagai pusat kebudayaan Jawa yang bercorak pada kebudayaan istana (kraton). Masyarakat di sekitar pantai utara dan timur lebih dikenal sebagai orang Jawa Pesisiran.

B. Sistem Sosial Masyarakat Suku Jawa

Masyarakat Jawa mengenal sistem lapisan masyarakat yang nyata perbedaannya. Yaitu antara lain:

- Bendoro atau Bendoro Raden, yaitu golongan bangsawan keturunan raja-raja.

- Priyayi, yaitu para kaum terpelajar yang memang biasanya berasal dari golongan bangsawan juga.

- Wong cilik, yaitu golongan sosial paling bawah, seperti golongan petani di sekitar desa.

Pada kenyataannya sekarang, perbedaan tersebut kian memudar seiring dengan peradaban masyarakat yang semakin berkembang. Sistem kekerabatan masyarakat suku Jawa menganut prinsip bilateral. Kerabat-kerabat dari pihak bapak atau ibu dipanggil dengan sebutan yang sama. Misalnya Bibi untuk menyebut adik perempuan dari bapak atau dari ibu. Untuk pasangan yang baru menikah, mereka tidak akan mempersoalkan di rumah mana mereka akan menetap selagi belum mempunyai rumah sendiri. Bisa di rumah orangtua istri atau orangtua suami.

C. Bahasa Suku Jawa

Masyarakat Jawa dalam berkomunikasi satu sama lain sehari-hari menggunakan bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat. Penggunaan bahasa pada tingkat tertentu dipengaruhi juga oleh orang Jawa dalam kelas tertentu.

Secara resmi, bahasa Jawa dibedakan atas tiga tingkatan, antara lain sebagai berikut.

Ø Bahasa ngoko, yaitu bahasa yang dipakai untuk orang yang sudah dikenal dekat dan akrab, atau dipakai untuk berbicara kepada orang yang lebih muda

Ø Bahasa karma ( Kromo ), yaitu bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang tingkat sosialnya lebih tinggi, seperti petani berbicara kepada golongan priyayi.

Ø Bahasa madya, yaitu bahasa variasi dari penggunaan bahasa ngoko dan bahasa karma.

Di luar ketiga bahasa tersebut, dikenal dengan bahasa kedaton, yaitu bahasa yang digunakan di lingkungan keraton. Orang Jawa terkenal dengan stereotip sifatnya yang lemah lembut, sopan, dan halus. Namun masyarakat Jawa tidak suka berterus terang, tidak bersifat terbuka. Mereka lebih suka menyembunyikan perasaan mereka terhadap suatu hal. Ini dikarenakan orang suku Jawa mengutamakan keharmonisan dan tepa selira (tenggang rasa). Namun tidak semua orang suku Jawa suka menyembunyikan perasaannya. Masyarakat di daerah pesisir lebih terbuka daripada nonpesisir. Beberapa wilayah di Jawa Timur juga mempunyai sifat yang lebih ekspresif, terus terang, dan egaliter.

SUKU BETAWI

Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.

A. Istilah Betawi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi berasal dari kata "Batavia," yaitu nama lama Jakarta pada masa Hindia Belanda.

B. Sejarah

Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India. Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong. Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.[1] Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.

Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.

Suku Betawi pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Setelah kemerdekaan

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

C. Seni dan kebudayaan

Budaya Betawi merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Hindia Belanda, Batavia (kini Jakarta) merupakan ibu kota Hindia Belanda yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

D. Bahasa

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[2] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

E. Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong,

F. Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

G. Drama

Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.

H. Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

I. Senjata tradisional

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

J. Kepercayaan

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

K. Profesi

Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.

Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

L. Perilaku dan sifat

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini.

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.

Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

SUKU MADURA

Suku Madura di Indonesia jumlahnya kira-kira ada 10 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Pulau Sapudi, Pulau Raas dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di sebelah timur Jawa Timur, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo jumlahnya paling banyak, dan jarang yang bisa berbahasa Jawa.

Bahasa yang dipergunakan oleh Suku Madura adalah bahasa Madura, bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Agama mereka sebagian besar adalah Islam dan sebuah minoritas kecil ada yang beragama Kristen.

Suku Madura juga banyak dijumpai di propinsi lain seperti Kalimantan, di Sampit dan Sambas. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang Madura senang berdagang dan dominan di pasar-pasar. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan, buruh, pengumpul besi tua dan barang-barang rongsokan lainnya.

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji).

Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa “Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata”. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Tradisi carok juga berasal dari sifat itu.

Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah Utara Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa. Madura dibagi menjadi empat kabupaten:

1. Bangkalan

2. Sampang

3. Pamekasan

4. Sumenep

Pulau Madura termasuk propoinsi Jawa Timur dan memiliki nomor kendaraan bermotor sendiri: Pulau ini terkenal sebagai pemasok garam nasional bagi Indonesia. Pilihan bertambak garam bagi penduduk Madura disebabkan kurang begitu suburnya tanah pulau ini bagi pertanian. Karena alasan serupa, banyak orang Madura menjadi perantau ke daerah-daerah lain di Indonesia. Komunitas Madura yang besar dapat ditemukan di pulau Kalimantan selain di Jawa.

1. Bangkalan

Kabupaten Bangkalan, adalah sebuah kabupaten di Pulau Madura. Ibukotanya adalah Bangkalan. Kabupaten ini terletak di ujung paling barat Pulau Madura; berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Sampang di timur, serta Selat Madura di selatan dan barat.

Pelabuhan Kamal merupakan pintu gerbang Madura dari Jawa, dimana terdapat layanan kapal ferry yang menghubungkan Madura dengan Surabaya (Pelabuhan Ujung). Saat ini telah dibangun Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura), yang kelak akan menjadi jembatan terpanjang di Indonesia. Bangkalan merupakan salah satu kawasan perkembangan Surabaya, serta tercakup dalam lingkup Gerbangkertosusila.

2. Sampang

Kabupaten Sampang, adalah sebuah kabupaten di Pulau Madura. Ibukotanya adalah Sampang. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Pamekasan di timur, Selat Madura di selatan, serta Kabupaten Bangkalan di barat. Masakan khas kota ini adalah kaldu.

3. Pamekasan

Kabupaten Pamekasan adalah sebuah kabupaten di Pulau Madura. Ibukotanya adalah Pamekasan. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Madura di selatan, Kabupaten Sampang di barat, dan Kabupaten Sumenep di timur. Pusat pemerintahan di Kecamatan Pamekasan.

4. Sumenep

Sumenep (bahasa Madura: Songènèb) adalah sebuah kabupaten di ujung timur Pulau Madura.Ibu kotanya ialah Kota Sumenep. Sumenep memiliki sebuah keraton keluarga kerajaan Madura, Cakraningrat. Kabupaten Sumenep selain terdiri wilayah daratan juga terdiri dari kepulauan yang berjumlah 126 pulau. Pulau yang paling utara adalah Pulau Karamian yang terletak di Kecamatan Masalembu dan pulau yang paling Timur adalah Pulau Sakala.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Hari, Tanggal, Bulan dan Tahun