HAM (HAK ASASI MANUSIA)
Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah tuhan yang dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan.
Walau demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sampai-sampai mengabaikan hak orang lain, ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasp orang lain.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari tuhan, mencangkup hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu.
Penegakan HAM di Indonesia
Sebagai mana kita ketahui, bahwa hak asasi manusia bersifat Universal sehingga masalah ini menjadi perhatian segenap umat manusia, tanpa memperdulikan dari mana para korban atau pelaku pelanggaran HAM berasal. Dunia internasional sendiri memiliki berbagai instrumen sanksi untuk para penjahat kemanusiaan, mulai dari sanksi ringan berupa pengucilan atau pemboikotan hingga sanksi pidana melalui pengadilan internasional. Penegakkan hak asasi manusia membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.
Persaingan berbagai kekuatan politik menjadi warna utama dalam kehidupan politik pada masa orde lama, persaingan tersebut meluas kesegenap kehidupan rakyat hingga memicu perseteruan diantara mereka. Haruskah persaingan politik selalu mengarah pada perseteruan.????
Kenyataan menunjukan bahwa hingga kini proses penegakan HAM di indonesia masih menghadapi berbagai kendala. Tetapi, proses demokratisasi yang terjadi pasca tumbangnya kekuasaan orde baru telah memberi harapan yang besar bagi kita agar pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat ditegakkan.
Kendati demikian, diera reformasi dapat kita catat bahwa pemerintah dan lembaga legislatif telah bekerja sama menyusun perangkap perundangan yang menunjukkan upaya nyata untuk mengedepankan perlindungan tentang hak asasi manusia. Tetapi, meski iklim demokratis kini tengah tumbuh subur bukan berarti upaya penegakkan hak asasi manusia di indonesia tidak mengalami hambatan sama sekali. Kita dapat mencermati bahwa dalam lingkungan sosial kita terdapat beberapa hambatan yang bersifat structural (berkenaan dengan budaya masyarakat). Walau demikian hambatan tersebut sepatutnya tidak membuat semangat kita untuk menegakkan hak asasi manusia menjadi surut.
Dari faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam penegakkan hak asasi manusia tersebut, mari kita upayakan sedikit demi sedikit untuk dikurangi (eliminasi), demi terwujudnya hak asasi manusia yang baik, mulailah dari diri kita sendiri untuk belajar menghormati hak-hak orang lain. Kita harus terus berupaya untuk menyuarakan tetap tegaknya hak asasi manusia, agar harkat dan martabat yang ada pada setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa tetap terpelihara dalam sebaik-baiknya.
Kasus-Kasus Pelanggaran Berat HAM
A. Trisakti, Semanggi I dan II
Beberapa kasus pelanggaran berat HAM seperti peristiwa G30S, Tanjung Priok, Warsidi Lampung sampai Kasus Semanggi I dan II kemungkinan bakal digarap KKR. Mungkinkah menuai sukses?
Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan sosial yang mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi dipicu oleh menyalaknya senapan aparat yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti.
Kerusuhan, menurut laporan Relawan Kemanusiaan, tidak berlangsung begitu saja. Fakta yang aneh, menurut mereka, setelah terjadi aksi kerusuhan yang sporadis, aparat tampak menghilang, sementara sebagian kecil saja hanya memandangi aksi penjarahan yang berlangsung didepan mereka.
Masih menurut laporan Relawan, kerusuhan itu tampak direkayasa. Aksi itu dipimpin oleh sekelompok provokator terlatih yang memahami benar aksi gerilya kota. Secara sporadis mereka mengumpulkan dan menghasut massa dengan orasi-orasi. Ketika massa mulai terbakar mereka meninggalkan kerumunan massa dengan truk dan bergerak ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama.
Dari lokasi yang baru, kemudian mereka kembali ke lokasi semula dengan ikut membakar, merampon mal-mal. Sebagian warga yang masih dalam gedung pun ikut terbakar. Data dari Tim Relawan menyebutkan sekurangnya 1190 orang tewas terbakar dan 27 lainnya tewas oleh senjata.
Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.
Pam Swakarsa terdiri dari tiga kelompok, dari latar belakang yang berbeda. Pembentukan Pam Swakarsa belekangan mendapat respon negatif dari masyarakat. Mereka kemudian mendukung aksi mahasiswa, yang sempat bentrok dengan Pam Swakarsa.
Dalam tragedi Semanggi I yang menewaskan lima mahasiswa, salah satunya Wawan seorang anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara begitu agresif memburu dan menembaki mahasiswa. Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa, seperti ditayangkan oleh sebuah video dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR Selasa 6 Maret 2001.
Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara yang berada di garis depan berhadapan dengan aksi massa mahasiswa yang tenang. Pasukan AD yang didukung alat berat militer ini melakukan penembakan bebas ke arah mahasiswa.
Para tentara terus mengambil posisi perang, merangsek, tiarap di sela-sela pohon sambil terus menembaki mahasiswa yang berada di dalam kampus. Sementara masyarakat melaporkan saat itu dari
atap gedung BRI satu dan dua terlihat bola api kecil-kecil meluncur yang diyakini sejumlah
saksi sebagai sniper. Serbuan tembakan hampir berlangsung selama dua jam.
Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22, mahasiswa Fakultas Teknik UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB).
Kasus ini, menurut Hermawan Sulistyo dari Tim Pencari Fakta Independen menyebut seperti sudah diperkirakan sebelumnya oleh aparat. Dia menurutkan begini; ''Yun Hap ditembak pukul 20:40 oleh konvoi aparat keamanan yang menggunakan sekurangnya enam truk militer yang mendekat dari arah Dukuh Atas. Konvoi menggunakan jalan jalur cepat sebelah kanan alias melawan arus. Paling depan tampak mobil pembuka jalan menyalakan lampu sirine tanpa suara. Sejak masuk area jembatan penyeberangan di depan bank Danamon, truk pertama konvoi mulai menembak. Sejumlah saksi mata melihat berondongan peluru dari atas truk pertama, menyusul tembakan dari truk-truk berikutnya.''
Berdasarkan fakta di lapangan TPFI menegaskan tidak mungkin ada kendaraan lain selain kendaraan aparat. Sebab, jalur cepat yang dilalui truk-truk itu masih ditutup untuk umum. Lagi pula truk-truk itu bergerak melawan arus, jadi tidak mungkin ada mobil lain yang mengikuti.
Kini akibat peritiwa itu, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum. Mereka adalah Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya), Irjen (Pol) Hamami Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdan jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).
B. Peristiwa G30S/PKI
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi pada Jumat subuh. Saat itu terjadi penculikan disertai pembunuhan terhadap tujuh Jenderal Angkatan Darat. Drama pembantaian para Jenderal ini juga menewaskan anak Jenderal AH Nasution, Ade Irma Suryani.
Versi buku putih Pemerintah menuturkan, hanya dua hari setelah pembantaian itu, Brigjen Soeharto berhasil mengendalikan suasana. Dengan bekal Supersemar diapun memberangus PKI, yang diakini sebagai pelaku makar, sampai ke akar akarnya.
Penanganan kasus G30S, menurut Asvi Marwan Adam, jika akan diselesaikan oleh lembaga KKR bakal menuai kesulitan yang amat sangat. Tidak hanya soal banyaknya versi cerita seputar kejadian.
Tapi masyarakat masih trauma dengan tragedi tahun 1965 itu.
Peristiwa G30S, banyak peneliti melihat, merupakan puncak tragedi setelah terjadi serentetan peristiwa politik yang melibatkan massa PKI dan massa non PKI. Hasil penelitian Hermawan Sulistiyo di Jawa Timur membuktikan itu.
Dalam bukunya Palu Arit di Ladang Tebu, Hermawan menulis bahwa ada serentetan peristiwa perebutan tanah yang menciptakan letupan konflik-konflik kecil di berbagai daerah di Jawa Timur. Dan peristiwa yang sering meminta korban jiwa dari pihak santri NU itu memunculkan trauma dendam
berkepanjangan.
Karena itu, menurut Hermawan, saat PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena dianggap menjadi otak kudeta politik tahun 1965, dan terjadi perburuan besar-besaran terhadap aktivis PKI, pembantaian yang terjadi di Jatim sungguh sangat besat, baik dalam skala jumlah maupun tingkat kesadisannya.
Hardoyo, mantan Ketua Umum CGMI periode 1960-1963 pun kemudian menggugat dengan ketus. ''Makanya peristiwa pembantaian sipil pasca 1 Oktober juga harus diungkap tuntas. Ini pembantaian terbesar
dengan korban 1 juta lebih rakyat yang belum tentu berdosa,'' katanya tandas.
Baik Hardoyo maupun Asvi sepakat, kalaulah KKR berperan dalam menyelesaikan kasus G30S, maka peristiwa itu harus dipilah dua. Pertama penanganan kasus sebelum 1 Oktober. Kedua penanganan
setelah 1 Oktober 1965. ''Dengan begitu akan lebih adil,'' tambahnya.
Meski bakal menggerus aktivis PKI, Hardoyo sendiri setuju bahwa siapapun yang terlibat dalam kasus 1 Oktober harus dihukum. ''Kita tidak peduli apakah ada oknum PKI yang terlibat, tentara
terlibat, Soeharto terlibat, itu harus diselesaikan tuntas.'' Hardoyo juga menambahkan, ''Peristiwa sesudahnya juga harus diperlakukan sama. Karena korbannya lebih besar.''
Seiring dengan arus reformasi, kini banyak versi buku terbit khusus untuk membahas soal peristiwa politik yang paling menghebohkan ini. Pemerintah jelas secara resmi menerbitkan buku putih. Dalam buku itu, Brigjen Soeharto sangat tergambar sebagai pahlawan yang begitu terpuji. Kesadisan peristiwa itu detil sekali tergambar, meskipun belakangan banyak yang menggugat. Jumlah korban pasca 1 Oktober, saat tentara memburu para aktivis PKI tidak disebut sama sekali.
Sementara sejauh mana keterlibatan Soeharto dalam peristiwa itu pun kini muncul banyak versi. Buku Pledoi-nya Latief secara jelas mengungkap bahwa Soeharto masuk dalam bagian rekayasa G30S itu.
Begitu juga soal kekejaman Gerwani dalam penculikan para Jenderal. Pernyataan terakhir para saksi mata kepada Metro TV menyatakan bahwa tidak ada penyiksaan dalam penculikan itu.
Yang menarik adalah dokumen CIA yang sempat ditarik oleh pemerintah AS setelah Megawati berkuasa. Dalam dokumen itu memang secara jelas disebutkan bahwa CIA terlibat dalam pengganyangan PKI di Indonesia. Meskipun kemudian pemerintah AS membantahnya.
Dalam banyak versi buku seputar G30S, inilah pekerjaan berat bagi KKR di masa yang akan datang. Apapun, kita patut menunggu kiprah KKR dalam soal penanganan kasus ini.
C. Tragedi Tanjung Priok
Tragedi ini terjadi pada September 1984. Saat itu hampir tengah malam, tiga orang juru dakwah, Amir Biki, Syarifin Maloko dan M. Nasir berpidato berapi-api di jalan Sindang Raya, Priok.
Mereka menuntut pembebasan empat pemuda jamaah Mushala As-Sa'adah yang ditangkap petugas Kodim
Jakarta Utara.
Empat pemuda itu digaruk tentara karena membakar sepeda motor Sertu Hermanu. Anggota Babinsa Koja Selatan itu hampir saja dihajar massa jika tak dicegah oleh seorang tokoh masyarakat di sana.
Ketika itu, 7 September 1984, Hermanu melihat poster ''Agar para wanita memakai pakaian jilbab.' Dia meminta agar poster itu dicopot.
Tapi para remaja masjid itu menolak. Esoknya Hermanu datang lagi, menghapus poster itu dengan koran yang dicelup air got. Melihat itu, massa berkerumun, tapi Hermanu sudah pergi. Maka beredarlah desas-desus 'ada sersan masuk mushola tanpa buka sepatu dan mengotorinya.' Massa
rupanya termakan isu itu. Terjadilah pembakaran sepeda motor itu.
Maka, pengurus Musholla pun meminta bantuan Amir Biki, seorang tokoh di sana agar membebaskan empat pemuda yang ditahan Kodim itu. Tapi ia gagal, dan berang. Ia lantas mengumpulkan massa di
jalan Sindang Raya dan bersama-sama pembicara lain, menyerang pemerintah. Biki dengan mengacungkan badik, antara lain mengancam RUU Keormasan.
Pembicara lain, seperti Syarifin Maloko, M. Natsir dan Yayan, mengecam Pancasila dan dominasi Cina atas perekonomian Indonesia. Di akhir pidatonya yang meledak-ledak, Biki pun mengancam, ''akan menggerakkan massa bila empat pemuda yang ditahan tidak dibebaskan.'' Ia memberi batas
waktu pukul 23.00. Tapi sampai batas waktu itu, empat pemuda tidak juga dibebaskan.
Maka, Biki pun menggerakkan massa. Mereka dibagi dua; kelompok pertama menyerang Kodim. Kelompok kedua menyerang toko-toko Cina. Bergeraklah dua sampai tiga ribu massa ke Kodim di jalan Yos
Sudarso, berjarak 1,5 Km dari tempat pengerahan massa.
Biki berjalan di depan. Tapi di tengah jalan, depan Polres Jakarta Utara, mereka dihadang petugas. Mereka tak mau bubar. Bahkan tak mempedulikan tembakan peringatan. Mereka maju terus,
menurut versi tentara, sambil mengacung-acungkan golok dan celurit.
Masih menurut sumber resmi TNI, Biki kemudian berteriak, Maju...serbu...' dan massa pun menghambur. Tembakan muntah menghabiskan banyak sekali nyawa. Biki sendiri tewas saat itu juga.
Keterangan resmi pemerintah korban yang mati hanya 28 orang. Tapi dari pihak korban menyebutkan sekitar tujuh ratus jamaah tewas dalam tragedi itu. Setelah itu, beberapa tokoh yang dinilai terlibat dalam peristiwa itu ditangkapi; Qodir Djaelani, Tony Ardy, Mawardi Noor, Oesmany Al
Hamidy. Ceramah-ceramah mereka setahun sebelumnya terkenal keras; menyerang kristenisasi, penggusuran, Asaa Tunggal Pancasila, Pembatasan Izin Dakwah, KB, dan dominasi ekonomi oleh Cina.
Empat belas jam setelah peristiwa itu, Pangkopkamtib LB Moerdani didampingi Harmoko sebagai Menpen dan Try Sutrisno sebagai Pangdam Jaya memberikan penjelasan pers. Saat itu Benny menyatakan telah terjadi penyerbuan oleh massa Islam di pimpin oleh Biki, Maloko dan M. Natsir. Sembilan korban tewas dan 53 luka-luka, kata Benny.